Interogasi

“Bukan aku!”
Suatu malam di sebuah rumah di Seoul, terjadi keributan secara tiba-tiba. 13 pasang mata saling melemparkan pandangan satu sama lain. Semenjak 30 menit yang lalu, mereka sudah mulai berteriak satu sama lain. Hawa di Seoul saat itu sangat dingin, kontras dengan hawa di dalam ruangan berisi sekumpulan pemuda yang tinggal bersama selama lebih dari lima tahun.
“Kan aku sudah bilang, aku tidak mungkin melakukan itu!”, seru pemuda bermata sipit dengan rambut berwarna abu-abu. Dia duduk di sebuah sofa dan dikelilingi oleh 12 pemuda lainnya. Tatapan tajam dari belasan pasang mata seakan-akan menusuk kepalanya.
“Hoshi, mengakulah.”, kata pemuda ber-rambut panjang sebahu.
“Hyung, aku bersumpah itu bukan aku. Kenapa kalian tidak percaya padaku?”, seru Hoshi sambil menghempas kedua tangannya karena frustasi.
“Kau tidak pandai berbohong, Hoshi. Semua sudah terlihat di wajahmu. Sudahlah mengaku saja.”, pemuda berparas tampan dan yang tertua diantara yang lain berusaha membujuk Hoshi.
Hoshi menghela nafas panjang lalu menundukkan kepalanya. Pemuda itu merasa lelah karena teman-temannya itu selalu tidak percaya padanya. Bahkan menurutnya, apapun yang dia lakukan selalu menghasilkan pertanyaan-pertanyaan dengan nada sinis seakan-akan mereka tidak percaya terhadap apa yang dilakukannya. Saat makan, mereka menyalahkan Hoshi karena dia selalu makan dan menuduhnya mengambil jatah member lain. Saat dia menumpahkan seluruh hatinya ketika berusaha masak untuk seisi rumah, mereka menyalahkannya dan menyuruhnya berhenti karena mereka bilang, makanannya pasti tidak enak. Bahkan disaat-saat penting dan kritis seperti ini, mereka bukannya menganalisa keadaan terlebih dahulu, namun langsung menuduh Hoshi sebagai pelakunya. Kalau bisa dihitung, selama lima tahun sudah 500 atau bahkan 5000 kali dia disalahkan atas kejadian-kejadian yang ada di rumah itu.
“Kenapa selalu aku yang dipojokkan seperti ini? Kalian bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”, keluh Hoshi dengan kepala yang masih menunduk.

“Baiklah, beri kami alasan kenapa bukan kau pelakunya.”, kata pemuda dengan pipi yang sedikit gemuk bernama Seungkwan.
“Pertama-tama, aku tidak tahu kenapa kalian menuduhku dari awal padahal aku hanya diam dan tidak bergerak sama sekali disini. Kedua, selama aku tinggal di rumah ini bersama kalian, aku tidak pernah sama sekali memiliki niat jahat apapun demi keuntunganku sendiri. Terakhir dan yang paling penting, aku bukanlah pelakunya.”, jelas Hoshi panjang lebar. Matanya berusaha menatap satu persatu mata teman-temannya. Dia berusaha meyakinkan mereka dengan mata sipitnya itu.
“Alasan macam apa itu?!”, seru Seungcheol, pemuda paling tua disitu yang juga memiliki peran sebagai leader.
“Aku berani sumpah!”, Hoshi mendongakkan kepalanya dengan cepat. Pemuda itu panik saat teman-temannya terlihat semakin tidak mempercayainya.
“Sudahlah, Hoshi. Dari awal kami sudah tau kalau kau pelakunya.”, kata Woozi, pemuda dengan perawakan kecil, berkulit putih, dan bermata sipit sama seperti Hoshi.
“Lebih baik kau pergi.”, kata Seungcheol dengan suara pelan tapi tegas. Hoshi yang mendengar hal itu langsung melengos dan hatinya dipenuhi dengan perasaan tidak adil.
Hampir semua pemuda di ruangan itu setuju dan meng-iya-kan kata-kata leader-nya tadi. Mereka yang daritadi mengerumuni Hoshi kini lebih mendekat, bersiap mengeluarkan dia dari lingkaran mereka. Hoshi melontarkan ribuan kata, berusaha membela diri sendiri agar tidak dikeluarkan dari situ.
“Apa arti persahabatan kita selama ini?”, seru Hoshi setengah berteriak. Namun teman-temannya tidak menghiraukannya. Bahkan Jun yang selalu menjadi penengah juga menyuruh Hoshi untuk segera keluar.
“Tunggu!”, seru Dino, satu yang termuda diantara mereka. Dia sedari tadi hanya diam untuk membaca situasi dan masing-masing raut wajah teman-temannya.
“Kenapa sih?!”, seru Mingyu, pemuda yang paling tinggi disitu.
“Aku rasa, bukan Hoshi-hyung pelakunya.”, Dino mengerutkan dahinya dan memandangi salah satu pemuda di ruangan itu. Seungcheol yang merasa dipandangi oleh Dino langsung menaikkan suaranya dan berseru,”Apa?”
Dino menaruh tangan kanannya di dagu seraya bergumam, “Ada kemungkinan pelakunya adalah Seungcheol-hyung.”
“Kau menuduhku? Aku? Aku daritadi berusaha mencari siapa pelakunya dan kau malah menuduhku?”, seru Seungcheol dengan suara tinggi.
“Bukankah sangat mencurigakan daritadi Seungcheol-hyung yang paling semangat memojokkan Hoshi-hyung? Bahkan saat yang lain berusaha mendengarkan alasan dari Hoshi-hyung, hanya hyung yang menentang keras itu. Menurutku itu cukup mencurigakan.”, jelas Dino dengan tatapan mata tajam yang dilemparkan ke seluruh ruangan.
“Kau ngomong apa sih? Aku sebagai leader hanya ingin rumah ini menjadi tenang dan kita semua bisa hidup bahagia. Aku tidak suka kalau ada orang yang berusaha menjatuhkan temannya di rumah ini. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Dan kini kalian malah menuduhku melakukan hal yang tidak pernah kulakukan? Untuk apa aku menjadi orang tidak berguna seperti itu?”, Seungcheol menatap mata teman-temannya dalam-dalam. Wajahnya dipenuhi dengan emosi perasaan tidak bersalah.
“Kalau Seungcheol-hyung menginginkan yang terbaik untuk kita, lalu kenapa hyung menginginkan Hoshi-hyung keluar?”, tanya Dino.
“Karena memang itu yang terbaik!”, seru Seungcheol.
“Kalau itu yang terbaik, seharusnya hyung menjaga kesatuan kita!”, kali ini Hoshi yang berteriak. Dia berdiri untuk pertama kalinya semenjak dia duduk dan dikerumuni teman-temannya.
“Kenapa kau membawa-bawa kesatuan! Ini tidak ada hubungannya dengan itu!”, seru Seungcheol.
“Tidak ada hubungannya bagaimana, hyung? Sudah lima tahun kita bersama dan persahabatan itu pecah hanya karena satu masalah sepele seperti ini?”, Hoshi mulai menahan tangisnya.
“Ini bukan masalah sepele! Kalau aku tidak menghentikannya sekarang, bisa saja yang lain juga jadi korban!”, Seungcheol mengeluarkan kata demi kata dengan marah.
“Korban? Korban, hyung? Aku bukan seorang kriminal, hyung! Aku juga bagian dari Seventeen! Untuk apa aku melakukan itu?”, kini mata Hoshi mulai berkaca-kaca.
“Seungcheol-hyung, aku kecewa.”, seru Dino lirih sembari mendekati Hoshi yang mulai sesenggukan.
Tiba-tiba saja semuanya sunyi. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Bahkan tidak ada yang berani bergerak. Hanya mata mereka yang melirik kesana kemari seakan-akan menyuruh satu sama lain untuk duluan mengeluarkan suara agar suasana sedikit mencair.
“Ekhm.” Jeonghan, pemuda berambut panjang sebahu akhirnya memecahkan keheningan tersebut setelah beberapa lama. “Jadi...”, dia melirik pemuda lain sebelum menuntaskan kalimatnya. Pemuda yang dilirik pun balik menonjolkan matanya karena tidak mau mengeluarkan suara. Semua yang ada di ruangan itu hanya bisa menatap ke bawah.
“Jadi, ekhm, bagaimana ini?”, tanya Jeonghan sambil melirik-lirik kecil ke arah Seungcheol yang marah. Orang yang dilirik hanya diam tanpa menunjukkan gerakan berarti.
“Siapa pelakunya?”, tanya Jeonghan lagi. Semuanya tetap diam.
Melihat tidak ada yang merespon pertanyaannya, Jeonghan memutar matanya dan mendengus.
“Aku lelah. Cepat selesaikan semua ini, temukan pelakunya, dan setelah itu aku akan tidur.”, kata Jeonghan sambil menaruh bokongnya di sofa dan menyenderkan kepalanya, mencari posisi duduk yang menurutnya paling nyaman. Diambilnya segelas jus yang ada di meja disebelah sofa dan langsung meminumnya dengan santai.
Vernon yang melihat hal itu langsung menelan ludah dan berusaha menyuruh Jeonghan untuk berdiri. Dia tak paham dengan jalan pemikiran temannya satu itu. Jeonghan yang tangannya ditarik Mingyu mengeluh sambil tetap menyeruput jus ditangannya dari sedotan.
“Kenapa sih?!”, keluh Jeonghan.
“Hyung, jangan begini!”, seru Vernon lirih sambil terus menarik lengan Jeonghan.
“Emangnya kenapa?”, Jeonghan tetap bersikeras untuk duduk dan meminum jusnya.
“Jeonghan!”, Joshua, member yang paling dekat dengan Jeonghan menatap Jeonghan sambil menggelengkan kepalanya.
“Kenapa? Apa salahku?”, seru Jeonghan tetap merasa tidak bersalah.
“Udah, diem!”, bisik Joshua sambil sesekali melirik ke arah Seungcheol dan Hoshi yang dari tadi masih tidak merespon kelakuan Jeonghan.
Dino yang dari tadi berusaha menenangkan Hoshi tiba-tiba memukul sofa dengan sangat keras. Semua orang yang dari tadi menunduk langsung lompat dari tempat mereka masing-masing karena kaget. Tak terkecuali Seungcheol dan Hoshi, mereka mendongakkan kepala mereka dan menatap Dino. Bahkan Jeonghan hampir memuntahkan jusnya karena kaget.
“Apa yang kau lakukan?!”, teriak Jeonghan yang merasa terganggu karena Dino.
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu, hyung!”, teriak Dino tidak kalah kencang. “Apa yang hyung lakukan? Disaat suasana seperti ini bisa-bisanya hyung duduk di sofa dan menikmati jus dengan nyaman?! Apa hyung tidak peduli dengan semua ini?”
Jeonghan yang mendengar itu langsung berhenti menyeruput jusnya sejenak dan menatap Dino. Namun tidak beberapa lama dia kembali menyeruput jus di tangannya dengan santai. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak peduli.
“Hyung!”, seru Dino dengan amarah yang dia coba tahan dengan keras.
“Jeonghan-hyung, jangan seperti ini—“, Vernon yang sekali lagi berusaha membujuk Jeonghan langsung dipotong oleh Dino.
“Tunggu dulu.”, kata Dino dengan dahi mengkerut. Lagi-lagi dia menaruh tangan kanannya di dagu.
“Apa lagi?”, tanya Mingyu.
“Melihat betapa santai dan tidak peduli Jeonghan-hyung saat ini, aku jadi curiga.”, bisik Dino dengan keras.
“Maksudmu, Jeonghan-hyung adalah pelakunya?”, tanya Seungkwan.
“Apa? Aku? Yang benar saja.”, seru Jeonghan dengan santai.
“Kalian tak lihat Jeonghan-hyung dari tadi hanya diam dan tidak ikut mencari  tahu siapa pelakunya?”, tanya Dino kepada semua orang di ruangan itu.
Kini semua mata tertuju kepada Jeonghan. Orang yang dimaksud hanya diam sambil menatap balik orang-orang di depannya. Tidak ada ekspresi orang bersalah sama sekali di raut wajahnya. Bahkan dia masih tetap memegang gelas berisi jus di tangan kanannya.
“Hyung, apakah benar?”, tanya Vernon pelan-pelan.
“Apanya?”, tanya Jeonghan.
“Bahwa hyung adalah pelakunya?”, Kali ini Seungkwan yang bertanya.
Jeonghan menelan jus terakhirnya dan akhirnya meletakkan gelas yang ada di tangannya. Dia mengangkat kepalanya dan duduk tegak di atas sofa. Matanya memandangi setiap orang yang ada disana tanpa ada yang terlewat. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal dan lelah karena teman-temannya ini dari tadi tidak kunjung berhenti berteriak-teriak.
“Dengar, anak-anak bodoh. Aku sudah lelah dengan semua permainan kalian ini.”, kata Jeonghan. Vernon yang mendengar ini langsung menelan ludah, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Hyung...”, bisik Vernon.
“Aku tidak peduli siapa pun mafia-nya, yang penting aku bisa hidup dengan tenang.”, lanjut Jeonghan.
Semua orang disitu melirik satu sama lain, tidak yakin harus bagaimana. Yang pasti mereka merasa bingung sekaligus kesal terhadap orang yang baru saja bicara tadi.
“Hyung!”, kali ini Seungkwan yang berseru protes. “Perjanjiannya kan tidak seperti itu!”
“Perjanjian apa? Aku tidak peduli!?”, seru Jeonghan sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Orang-orang di depannya hanya bisa memandangnya tak percaya.
“Hyung, kenapa—“
“Sudahlah! Cepat selesaikan permainan bodoh ini! Aku lelah! Aku tidak ikut main!”, seru Jeonghan.
“Hyung, perjanjiannya kan kalau pelakunya tertangkap baru permainannya selesai! Itu sudah peraturannya!”, seru Dino.
“Jeonghan...”, Seungcheol yang angkat bicara kehabisan kata-kata. Dia tak habis pikir dengan temannya yang kali ini mengambil ponsel di meja dan memainkannya tanpa peduli sekitarnya.
“Hyung, aku bahkan sampai menangis. Kalau mafia-nya tidak ketemu, lalu aku menangis untuk apa?”, protes Hoshi sambil mengelap air mata yang dari tadi membanjiri pipinya.
“Kan sudah kubilang jangan terlalu berlebihan.”, sahut Jeonghan santai. Matanya tetap terpaku pada layar ponselnya.
“Tapi kan manajer-hyung bilang kita harus melatih kemampuan akting kita! Sebentar lagi kita akan bermain film, hyung. Apa hyung lupa?”, seru Hoshi dengan air mata yang masih mengalir walaupun sudah dia usap berkali-kali.
“Akting ya akting, main ya main! Ngapain harus digabung?!”, seru Jeoghan balik.
“Hanya permainan itu yang bisa melatih kemampuan akting kita...”, jawab Hoshi lirih.
“Sudahlah! Kenapa sih masih saja mempermasalahkan permainan itu? Aku mau tidur!”, seru Jeonghan.
Jeonghan bangkit dari sofa, berjalan kearah kamar, kemudian kembali sambil membawa bantal dan selimut. Lalu direbahkan lagi badannya di sofa, kali ini dengan posisi yang lebih nyaman dari yang sebelumnya. Beberapa saat setelah dia memejamkan mata, dia langsung tertidur pulas.
Member Seventeen yang lain hanya bisa melihat Jeonghan dengan tatapan malas. Mereka merasa lelah karena telah mengeluarkan tenaganya sebanyak mungkin untuk berlatih akting dalam permainan yang mereka buat. Namun semua itu sia-sia karena seorang Yoon Jeonghan yang hanya peduli dengan kenyamanan hidupnya.
“Dasar, perusak suasana.”, kata Seungkwan.
“Aku tidak mau main Mafia Game lagi.”
“Aku juga.”

Pada akhirnya, satu persatu dari mereka meninggalkan ruangan itu untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka berharap semoga bisa tidur nyanyak setelah kejadian itu. Kalau Yoon Jeonghan bisa tidur nyenyak setelah menghancurkan kelas akting mereka, kenapa mereka tidak?
.
.
.
Oke, jadi ini adalah fan fiction yang aku tulis saat tengah malam di suatu hari di bulan Agustus. Sebenarnya, fanfic ini kubuat dengan tujuan agar aku bisa memenangkan sebuah tiket konser yang saat itu sangat kuinginkan. Tapi karena saking tergesa-gesanya aku dalam menulis dan pikiranku dibutakan oleh hadiah tiket konser, aku sama sekali tidak menikmati prosesnya. Setelah sekitar 3 bulan berlalu aku tidak pernah membuka file fanfic ini di folder kesayanganku. Namun tiba-tiba saja aku teringat dan tanpa kusadari aku membuka sebuah file bertuliskan " FANFICTION: Interogasi". Tawa memenuhi malamku setelah aku membacanya lagi. Sebenarnya apa yang kupikirkan saat aku menulisnya? Sangat kekanak-kanakan dan tidak keren. Tapi setelah kupikir, tulisan ini merupakan bagian dalam proses menulis. Jadi, kuputuskan untuk membaginya dan menyematkan rangkaian paragraf aneh ini ke sebuah blog kecil yang tidak kalah aneh. Aku hanya berharap aku tidak menghancurkan mood orang yang membaca ini. Semoga saja, hehe.

NB: Akhir-akhir ini aku terobsesi dengan kata 'hehe'. Entah kenapa aku merasa hidupku akan lebih terlihat bahagia jika dijelaskan dengan kata itu. Hehe.

-Nunumato (a fangirl name of mine, don't judge me)

Comments

Popular posts from this blog

Sesuatu di Balik itu Semua

Safe and Sound

A Cold Starry Night