Kita dan Gaza

Anak kecil itu menangis. Badannya tertimpa reruntuhan bekas sekolah. Beberapa orang mendekat. Namun, BOOOM! Satu lagi roket mendarat tepat di sebelah reruntuhan itu. Dan orang-orang yang berusaha menolong anak kecil itupun ikut tertimpa reruntuhan. BOOM! Roket lainnya meluncur. Membuat seisi kota terdiam…
Namaku Dewi. Dewi si Bocah Aneh, kata mereka. Aku tidak tahu kenapa mereka memanggilku seperti itu. Mereka tidak pernah memberi alasan yang jelas tentang nama panggilanku itu. Saat kutanya, mereka justru terus menyorakiku dengan volume yang lebih ditinggikan. Tapi, ya sudahlah, aku tidak pernah mempermasalahkan itu.
“Heh, De! Ayo main layangan!”
“Nggak mau! Nanti kamu curang lagi!”
“Aku nggak pernah curang, De.”
“Buktinya kemarin layanganku putus karena kamu curang.”
Dia temanku. Lebih tepatnya, teman berantemku. Sejak kelas 1 SD dia selalu mengajakku bermain bersama. Tapi akhir-akhirnya, dia pasti curang dan aku harus terima kejailannya.
Rafa namanya. Bagi kami, tiada hari tanpa bermain. Dan tentu saja, tiada hari tanpa berantem. Setiap pulang sekolah dia pasti menarikku ke lapangan untuk bermain. Walaupun ujung-ujungnya aku akan pulang dengan air mata yang mengalir di pipiku karena kalah bermain dengannya. Dia selalu curang.
“Itu kan salah kamu sendiri. Siapa suruh kamu nerbangin layangan di deket aku. Aku kan jadi ribet.” Katanya sambil menggulung benang layangan yang daritadi dia pegang.
“Aku tetep nggak mau!”
“Kenapa?”
“Pokoknya nggak mau!” seruku.
Rafa diam. Kemudian berbalik dan berjalan keluar rumahku. Aku yang pura-pura ngambek langsung kaget melihat sikap Rafa yang tiba-tiba itu. Apa dia marah?
“Rafa…” sahutku lirih.
Rafa kenapa, ya?
Aku terduduk lesu di lantai terasku. Apa Rafa marah padaku? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah padanya?  Biasanya kalau berantem, Rafa tidak pernah meninggalkanku seperti itu. Dia pasti meleraiku dan membujukku supaya bisa ikut bermain. Tapi kali ini, kenapa Rafa pergi?
Aku baru akan bangkit, saat tiba-tiba sebuah tangan menjambak rambutku pelan. Aku menoleh. “Rafa!” seruku.
“Nih, layangan buat kamu. Aku tau kamu nggak punya layangan lagi. Jadi, kamu pakai punyaku aja.” Katanya sambil menyodorkan sebuah layangan berwarna kuning dengan ekor panjang berwarna biru.
“Kamu nggak marah?” tanyaku. Rafa mengerutkan dahi.”Kenapa harus marah?”
“Jadi kamu nggak marah?”
“Nggak. Udahlah, ayo main! Keburu lapangannya ramai. Ntar layangan kamu putus, lagi!” Dia menyodorkan layangan kuning itu sekali lagi. Aku mengambilnya sambil tersenyum. Ternyata dugaanku salah. Rafa baik. Dia tidak mungkin pergi tanpa alasan. Walaupun suka curang, tapi dia baik. Aku suka Rafa.
“Ada serangan lagi. Kau harus hati-hati. Jaga gadis itu baik-baik.”
“Baik. Aku akan menjaganya. Pasti.”
Dan tepat setelah itu, mereka berdua keluar. Berlari menuju suara teriakan seorang bocah. Suara teriakan yang sangat miris… Jika saja tertimbun reruntuhan tidak sesakit itu.
“Kali ini aku yang kalah.”
“Tapi kamu tetep curang.”
“Kamu kan udah menang. Kok masih ngatain aku curang, sih?”
“Kamu, sih. Ngajakin main di dekat pohon. Kan aku jadi bingung mau nerbanginnya gimana.”
Aku menoleh kearahnya. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. Dia lucu. Selalu ada saja akalnya agar dia bisa mengerjaiku. Tapi entah karena cuacanya atau apa, hari ini dia sedikit lengah sehingga layangannya putus saat bergesekan dengan layanganku.
“Panas, ya…”
“Beli es, yuk!” seruku.
Rafa yang sepertinya kehausan langsung berlari meninggalkanku. Kelihatannya, dia sekarang lebih semangat daripada aku. “Rafa, tungguin!” Akupun berlari mengejarnya. Rafa sudah sampai di tempat penjual minuman dingin. Tapi, saat aku baru saja setengah berlari, ada sebuah batu yang mengenai lenganku.
“Aww!” Aku berhenti berlari sambil meringis kesakitan. Kupegangi lenganku yang terkena batu tadi. Rasanya sakit sekali.
Aku berjalan menuju Rafa. Tangan kiriku masih memegangi lengan kananku. Tiba-tiba…
“Aww!” Aku terjatuh.
Sebuah batu mengenai kepalaku. Refleks aku langsung memeganginya. Rasanya lebih sakit daripada lenganku. Tadi itu batu dari mana, ya? Apa ada orang yang sengaja melempariku? Tapi, kenapa?
“De! Kamu kenapa?”
Kulihat Rafa berlari kearahku sambil membawa dua plastik berisi minuman dingin.
“Aku nggak tau.” Kataku sambil masih memegangi kepalaku.
“Kamu berdarah!” Seru Rafa. Seketika itu dia melepas genggaman tangannya pada minuman itu dan langsung memegang tanganku. Dia mengelap darah yang mengalir di pelipisku. Tapi, dia kewalahan karena terlalu banyak darah yang keluar. Aku yang lemas hanya bisa memandanginya.
Kurasakan sebuah batu melayang menuju kearahku. Tapi kali ini batu itu mendarat tepat di dengkulku.”Hei, Rafa! Ngapain kamu main sama anak aneh seperti dia? Buang-buang waktu, tau! Mendingan kamu main sama kita!”
Aku menoleh. Ada segerombolan anak yang berjalan menuju aku dan Rafa. Mereka membawa batu di tangannya masing-masing. Aku sekarang tahu siapa yang melempariku dengan batu. Ya, selalu mereka, dan kejadiannya selalu begini. Tapi baru kali ini mereka mengenai kepalaku.
“Aku nggak mau main sama anak-anak jahat seperti kalian! Kalian itu hanya merusak kesenangan orang lain!” Rafa berteriak. Tangannya masih memegangi kepalaku yang berdarah.
“Dasar nggak berguna kamu, Rafa! Kamu berani ngelawan kami, ya?”
Yang kurasakan setelah itu adalah tubuh Rafa yang menutupiku. Dan kudengar rintihannya. Anak-anak tadi berteriak senang. Ada yang terus mengolok-olok Rafa karena dia mau berteman denganku. Ada juga yang berusaha melempariku batu. Tapi, tubuh Rafa melindungiku. Rafa… aku tidak memintamu untuk melindungiku. Kenapa kamu melakukannya? Aku tidak mau kamu sakit gara-gara aku. Rafa, aku minta maaf telah merepotkanmu.
“Kamu ingat janjiku, kan?”
BOOM! Gedung di belakang kami runtuh. Kami pun berlari menjauh.
“Aku ingat. Bagaimanapun aku tidak akan lupa.”
“Tolong! Anakku! Anakku!”
Kami berlari menuju sumber suara. Seorang ibu memegangi anaknya yang tidak sadarkan diri. Darah menyelimuti tubuhnya. Disampingnya, seorang lelaki paruh baya sedang berusaha mengangkat anak dari ibu tadi. Darah itu…
“Rafa, kamu kenapa nolongin aku? Kan kamu jadi sakit! Aku nggak suka kamu sakit!” seruku dengan air mata yang terus mengalir di pipiku. Perban di kepalaku tak kuhiraukan. Untuk saat ini, aku hanya mengkhawatirkan Rafa.
“Aku lebih nggak suka kalo kamu nangisin aku.”
“Tapi kamu berdarah banyak, Rafa!”
“Yang penting bukan kamu yang berdarah banyak.” Aku memeluk tangan Rafa dan menangis diatasnya. Melihat Rafa terbaring lemah karena aku, bukanlah sesuatu yang kuinginkan. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Rafa. Tapi, dia itu gila! Dia rela terkena lemparan ratusan batu demi membelaku.
“Rafa…”
“Iya?”
“Kamu harus janji ke aku. Kalau kamu nggak bakalan ngulangin itu lagi. Kamu harus janji nggak bakalan nyelakain diri kamu sendiri. Kamu juga harus janji nggak bikin aku khawatir lagi.” Ujarku sambil sesenggukan.
“Iya, aku janji. Aku juga janji bakalan melindungi dan membela kamu di depan siapa aja.”
“Tapi kalo membela aku bikin kamu celaka, kamu bakalan ngapain?”
“Aku bakalan tetap membela kamu. Pasti.”
“Terimakasih, Rafa. Kamu baik.”
“Sama-sama, De.”
“Aku benci mereka! Kalo aku besar nanti, aku harus melawan semua orang yang mirip mereka. Nggak akan ada orang yang jadi korban lagi!” seruku sambil mengepalkan kedua tanganku.
“Kalau gitu, aku bakalan ikut kamu kemana aja. Aku bakalan jadi pelindung kamu.”
“Janji?” Aku menyodorkan jari kelingkingku.
“Janji.” Rafa melingkarkan jari kelingkingnya di kelingkingku.
13 tahun kemudian…
Aku berlari menuju kerumunan yang ada di seberang jalan. Barusan aku mendengar suara ledakan bom yang cukup keras. Dan seperti biasanya, aku langsung bangkit dan berlari menuju asal suara. Baru dua bulan aku disini, tetapi aku tidak pernah merasakan yang namanya ketenangan. Hari-hariku selalu dipenuhi dengan suara ledakan bom dan suara dari roket-roket yang diluncurkan para pejuang. Kata “Allahu Akbar” selalu dikumandangkan dimana-mana. Rasa semangat untuk bebas seakan berusaha menghancurkan kerakusan akan dunia kekuasaan.
“Nak! Ada seseorang yang terjepit diantara tembok itu!”
Aku segera menelpon Rafa.
“Rafa, seseorang terjepit diantara bangunan bekas sekolah itu! Cepat kesini!”
“Tunggu aku, De!” Rafa menutup telponnya.
Saat Rafa sampai, semua orang langsung memberi jalan untuknya agar dia bisa mendekat kearah orang yang terjepit itu. Aku pun ikut mendekat. Begitu melihatnya, aku langsung tercengang.
“Rafa, cepat tolong dia!!” seruku disertai dengan tangisan yang lumayan keras.
Rafa berlari menuju orang itu. Tidak, dia anak kecil. Anak itu terjepit di reruntuhan bangunan bekas sekolah itu. Hanya kepala dan tangan kanannya yang terlihat. Bagian tubuhnya yang lain terkubur hingga tidak terlihat. Aku merinding. Batu-batu besar bekas reruntuhan itu masih terus berjatuhan. Aku mendekati Rafa dan orang-orang lain yang ikut membantu. Kuambil bagian di belakang Rafa. Aku berusaha melindungi Rafa dan anak itu dari batu-batu yang masih berjatuhan itu.
“De, minggir! Kau bisa tertimpa batu-batu itu! Kau bisa terluka!” seru Rafa.
“Yang penting bukan kamu yang terluka.” Aku tersenyum kepadanya. Dia memberiku tatapan berarti.
“Ingat terus janjiku, De.” Katanya. Setelah itu dia langsung memindahkan bata-bata yang menimpa anak itu.
Beberapa jam kemudian, anak itu berhasil dikeluarkan dari timbunan batu itu. Orang tuanya langsung menggendongnya dan membawanya ke tempat pengungsian. Rafa masih disana. Dia menungguku yang masih membantu seorang wanita untuk berjalan ke Ambulance. Begitu Ambulance berjalan, orang-rang yang lain langsung berlari kembali ke pengungsian. Untuk berlindung  kalau-kalau ada serangan lagi.  
Rafa merangkul pundakku saat kami berjalan. Dia tahu bahwa punggungku sakit karena dipakai menahan batu-batu tadi.
“Rafa, terimakasih sudah mau membantuku. Terimakasih sudah mau mengikutiku ke sini.” Ucapku tiba-tiba.
“Aku kan sudah janji. Kau masih ingat, kan?”
“Tentu saja, Rafa. Tapi, kenapa kau tidak mengejar cita-citamu saja? Daripada harus bersusah payah mengikutiku menjadi sukarelawan disini.”
“Cita-citaku adalah menumbuhkan perdamaian di seluruh dunia. Jadi, sama saja dong aku sedang menjalani cita-citaku, saat ini?” Rafa tersenyum kepadaku.
“Rafa, berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku.”
Dia hanya tersenyum.
Dan seketika itu, aku mendengar suara ledakan yang dahsyat. Aku memegang erat tangan Rafa. Sangat erat. Dan gelap. Semuanya hitam.
Yang kuingat saat itu hanyalah samar-samar. Berbagai macam muka hadir di mimpiku setiap malam. Tetapi mereka mengatakan semua yang pernah dikatakan Rafa kepadaku. Aku tahu, mereka adalah orang-orang yang pernah diselamatkan jiwanya oleh Rafa.
Dan saat Rafa pergi, mereka yang menemaniku. Mengingatkanku bahwa Rafa akan selalu ada dalam hatiku. Dalam memori-memori indahku. Dalam setiap tawa yang keluar dari bibirku.
Pertama kali aku mendengar kabar itu, yang melintas dibenakku pertama kali adalah, curang. Iya, Rafa curang. Dia meninggalkanku. Dia bahkan tidak meninggalkan pesan terlebih dahulu. Dia pergi secara tiba-tiba. Terlalu tiba-tiba sampai aku baru menyadarinya beberapa hari setelah berita itu kudengar. Aku menangis setiap malam setelahnya. Tapi, orang-orang disekitarku mengingatkanku akan perkataan Rafa.
“Aku lebih nggak suka kalo kamu nangisin aku.”
Rafa, kau seharusnya tahu. Bahwa air mata tidak selamanya menjadi kenangan buruk. Aku tahu, air mata yang kuteteskan setiap aku kalah bermain denganmu, justru akan menjadi memori indah dalam hidupku.
Rafa, kau ingat, kan? Kau pernah janji padaku untuk selalu melindungiku. Tapi, saat kau pergi. Aku langsung mengira kalau kau mengingkari janjimu yang itu. Kau tidak ada dan kau tidak akan pernah melindungiku lagi. Tapi aku salah. Setelah kepergianmu, serangan di Gaza semakin hari semakin menurun. Bahkan sekarang sudah tidak ada sama-sekali. Perdamaian sudah ada di puncak kota ini, Rafa. Aku yakin, begitu kau pergi, kau langsung memohon kepada Tuhan agar serangan ini segera dihentikan. Dan Tuhan meng-iya-kan permohonanmu itu.  Terimakasih, Tuhan, sudah mendengarkannya.
Terimaksih Rafa, kau selalu menepati janjimu. Bahkan disaat kau sudah tiada, aku selalu merasa aman.

Aku… suka kamu, Rafa. Aku sudah pernah bilang begitu, bukan? Kalau kau masih ingat, berarti kau harus sabar menungguku, ya. Tunggu aku disana, Rafa. Tunggu aku di surga-Nya.

***

Cerpen ini masuk ke dalam 50 besar lomba cerpen di salah satu website pada tahun 2013. Tapi aku agak lupa nama lombanya apa, soalnya udah agak lama juga. Cerpen ini aku temukan setelah dua tahun tertimbun oleh cerpen-cerpen lain yang lebih baru. Entah kenapa pikiran teringat akan cerpen yang jalan ceritanya menurut aku agak kekanakan ini. 

Comments

  1. Nggak ada yang kekanakan kuk disini. Menepati janji yang diukir semasa kecil dan menjadi sukarelawan di usia muda adalah bentuk kedewasaan kuk :) Ceritanya bagus, pantas masuk 50 besar, selamat :D
    Oh ya, salam kenal, Moga bisa saling berkunjung ya :)
    www.cerpen-case.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih ya sudah mau berkunjung dan baca cerpen ini :) Terimakasih juga komentarnya :)
      Salam kenal juga!
      By the way, aku barusan join di blog Pen Short Stories loh! :)

      Delete

Post a Comment

Please tell me what do you think about this post. I would appreciate it alot!
Thankyou!
Love, Rani.

Popular posts from this blog

A Cold Starry Night

A New Temporal Wave

Safe and Sound