Lagi, aku terbawa ombak yang datang dalam sekejap. Airnya sangat lembut dan memiliki kekuatan untuk membuatku tidak membara saat aku tidak ingin menjadi diriku sendiri. Dia adalah ombak yang kesekian. Seperti yang lain, hanya aku yang bisa merasakan deburannya. Ombak itu bahkan tidak tahu kalau dia mengenaiku saat menggulung dirinya di tepian laut. Padahal, bukan hanya aku yang terkena sapuannya. Aku yakin dia bahkan tidak peduli dengan orang-orang yang sudah dilewatinya. Namun kenapa aku yang harus menanggung beban perasaan yang cukup membuatku gusar ini? Dia adalah ombak yang ke sekian. Yang kalau dipikir lebih dalam, maka ombak itu hanya hidup di pikiranku. Yang semakin bertambah hari semakin menaikkan kegundahanku. Bahkan saat cipratannya tidak mengenaiku, aku masih akan tetap melirik kearahnya. Aku paham betul beberapa hari lagi aku tidak akan merasakan semua hal ini. Seperti biasa, semua perasaan itu akan hilang dan ombak itu hanya akan menjadi beberapa kubik air di lautan. Walau...
Aku sering bermimpi tentangmu akhir-akhir ini. Kau mengajakku naik naga peliharaanmu yang besar itu. Aku menolaknya, tapi kau tidak marah ataupun bertanya alasannya. Langkah kakimu yang biasanya besar, saat itu kecil karena aku kerap marah-marah karena lelah mengikutimu. Kau bahkan tidak mengeluh saat kuajak berjalan diatas sneakers mu. Tidak sepatah kata kau ucapkan, hanya anggukan dan diam, atau sebuah senyum kecil yang keluar dari wajahmu. Memang selalu seperti itu caramu menghadapiku. Bahkan kau tidak menikmati segelas kopi yang kau suka karena aku membencinya. Donat yang tidak biasa menyentuh bibirmu pun dengan lincah menari di dalam mulutmu. Kau tidak banyak berucap saat bersamaku. Aku pun terbiasa dengan tatapan dan bahasa tubuhmu yang tidak banyak namun selalu berhasil kuartikan. Senyum itu, dan, mata itu. Dua hal yang sangat kusuka darimu, walaupun jarang kutemui bahkan setelah berjam-jam bersamamu. Menjadi sebuah pertanyaan yang berlarut-larut tentang sikapmu setiap bertemu d...
Setelah beramai-ramai meninggalkan habitatnya, ribuan semut membangun kembali kehidupan mereka. Satu diantaranya adalah seekor semut bermata coklat dengan sepucuk daun yang terlipat rapi di tangannya. Dia bukanlah pasukan pembawa bahan makanan, bukan juga pasukan pengirim surat. Sang semut kecil juga tidak begitu yakin dengan perannya dalam kawanan itu. Yang dilakukannya hanyalah mengikuti alur kehidupan yang dibangun bersama oleh semut-semut lain di sekitarnya. Tak tahu apa yang mungkin akan dijumpainya di depan, tak tahu pula apa yang akan terjadi jika dia berjalan ke belakang. Yang pasti, dia tidak pernah berhenti berjalan. Sepucuk daun di tangannya sudah memiliki banyak garis-garis luka karena terlalu sering dibiarkan dalam posisi tertekuk. Tidak ada satupun semut di kawanan yang tahu tentang daun itu. Hanyalah semut kecil bermata coklat, dan Tuhan yang tahu. Hanya ada satu semut di dunia ini yang menyimpan jutaan perasaan di selembar daun. Perasaan akan sesuatu yang tak akan pern...
Comments
Post a Comment
Please tell me what do you think about this post. I would appreciate it alot!
Thankyou!
Love, Rani.