Sesuatu di Balik itu Semua
Saat ibu menyuruhku membeli kelapa tadi pagi, aku agak malas. Tapi, begitu tahu kalau kelapa itu akan digunakan untuk membuat kolak pisang, aku langsung bangkit dan segera mengambil sepedaku. Dengan semangat ’45 aku mengayuhnya menuju toko sayur yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Saat aku berbelok menuju sebuah gang, aku bisa melihat ibu-ibu bergerombol di depan tukang penjual sayur. Rasa malas pun datang kembali. Tapi bayangan kolak pisang yang melintas dipikiranku membuat rasa malas itu pergi dengan sendirinya. Setelah mengantri sangat lama, akhirnya satu bungkus kelapa parut sudah ada di tanganku. Dengan senyum yang mengembang, kukayuh sepedaku kembali menuju rumah.
“Sekarang kelapanya diperas dulu.” Ibuku menyodorkan sebuah saringan dan sebuah baskom.
Melihat itu, kelapa parut yang ada di tanganku langsung kutaruh. “Aku nggak bisa.”
“Jangan bilang nggak bisa, dicoba dulu.” Ibuku mengambil kelapa parut tadi dan menuangnya ke atas saringan. “Tolong ambilkan air.”
Aku berdiri dan mengambil satu ciduk air dari ember. Kemudian menaruhnya di depan baskom.
“Dilihat caranya.” Kata ibuku sambil menuang sedikit air di atas kelapa parut.
Ibuku memeras kelapa parut itu sedikit demi sedikit. Aku memperhatikan setiap tetes santan yang muncul dari bawah permukaan saringan.
“Sini aku coba!” aku langsung mencoba memeras kelapa parut sedangkan ibuku merebus air.
Aku menikmati apa yang kukerjakan saat itu. Mulai dari memeras kelapa, memotong pisang, dan lainnya. Sampai ibuku menyuruhku untuk meminta pandan di tetangga sebelah rumahku. Awalnya aku tidak mau, bukan karena apa-apa tapi karena aku malu. Entah kenapa setiap aku kesana, aku pasti malu. Tak tahu apa sebabnya.
Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku dengan sedikit kuseret. Pisau yang kupegang kugoyang-goyangkan dengan cepat. Mungkin orang yang melihatku akan berpikir bahwa aku akan membunuh seseorang. Biarkan sajalah, yang penting aku segera meminta pandan dan pulang.
“Assalamualaikum.” Kataku pelan seraya mengetuk pintu rumah tetanggaku ini.
Beberapa detik kutunggu tidak ada jawaban, lalu aku mengetuk pintunya sekali lagi.”Assalamualaikum!”
Walaupun pintunya terbuka, ibuku selalu membiasakan untuk mengucap salam dan mengetuk pintu terlebih dahulu.
Aku tetap menunggu seseorang untuk keluar dan menjawab salamku. Walaupun sebenarnya aku malas untuk berada dalam keadaan yang menurutku aneh ini, tetapi aku harus tetap menunggu. Jika lama ditunggu dan tidak ada yang keluar, ya aku pulang saja. Lagipula, jika kebetulan aku bertemu Niko, itu bukan kiamat. Niko adalah anak tunggal yang tinggal bersama neneknya di rumah ini. Orangtuanya sering bertengkar sampai ibunya membeli kontrakan sendiri. Sedangkan ayahnya, aku tidak tahu kemana. Menurutku, Niko itu lumayan tampan. Dia seumuranku. Dia anak rumahan sama sepertiku, sama-sama tidak pernah keluar rumah. Niko memang sedikit pendiam, meskipun aku pernah mendengarnya bernyanyi dengan keras dari balik tembok rumahku. Kalau dipikir-pikir, Niko dan aku punya banyak kesamaan. Salah satunya adalah, aku dulu juga tinggal berdua dengan nenekku, walaupun kedua orangtuaku juga masih tinggal bersama. Tetapi sekarang nenekku sudah tiada. Dulu Niko adalah sahabat kecilku. Setiap hari kami bermain bersama. Tetapi, setelah beberapa tahun, kami tidak pernah bermain bersama lagi. Bahkan saling sapa pun tidak pernah. Sebenarnya aku ingin menyapanya dan mengajaknya mengobrol, tetapi aku terlalu malu.
Setelah lama menunggu, akhirnya rasa lelah karena berdiri terlalu lama pun datang. Aku menggedor pintunya dengan keras. Dan akhirnya seseorang keluar dari dalam kamar yang terlihat dari tempatku berdiri. Itu Niko. Tak tahu mengapa hatiku menjadi sedikit berdebar. Ahh aku benci perasaan seperti ini. Setiap kali aku terperangkap dalam keadaan seperti ini, aku selalu mual dan berkeringat. Maka dari itu aku benci perasaan berdebar yang sedikit lebih mencuat ini.
“Boleh minta pandan nggak?” tanyaku berusaha tidak terlihat gugup. Niko hanya mengangguk kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya. Aku mencibir melihatnya. Aku sudah mual-mual eh Niko malah hanya mengangguk. Benar-benar sia-sia keringatku mengucur deras tadi. Aku terus mengoceh di dalam hati sambil memotong dua lembar daun pandan.
Sampai dirumah, semangatku untuk membuat kolak pun telah lenyap.
“Ini daun pandannya.” Kataku sambil melemparkan dua lembar daun pandan di atas meja dapur. Setelah itu aku langsung bermalas-malas ria di depan tv. Ibuku yang melihat tingkahku akhirnya menyelesaikan kolak pisang itu sendiri.
***
Pagi ini, aku bangun agak siang. Untung saja libur semester belum selesai, jadi aku masih bisa bangun siang.
“Kakak, cepetan mandi. Terus nanti tolong antarkan bawang putih ke rumahnya Niko.” Kata ibuku sambil menunjuk sebuah kantong plastik hitam di atas meja.
Saat aku mendengar kata-kata “Niko”, separuh diriku ingin aku cepat-cepat mandi dan berangkat, separuhnya lagi ingin aku menonton tv dulu agar tidak datang ke rumah Niko. Sebuah dilema yang cukup membingungkan. Akhirnya aku memutuskan untuk menonton tv. Tapi baru saja aku akan duduk di depan tv, ibuku berkata,”Jangan jorok-jorok cepetan mandi sana! Tuh liat adikmu saja sudah harum.”
Seketika itu aku tidak jadi duduk dan langsung berjalan menuju kamar mandi dengan malasnya.
***
“Assalamualaikum!” seruku dengan sedikit nada malas. Kali ini, aku tidak perlu menunggu terlalu lama di depan pintu. Niko langsung keluar begitu aku mengucap salam. Aku berusaha untuk tidak gugup kali ini. Aku hampir berhasil, tetapi saat aku menyerahkan bungkusan plastik itu, rasa mual pun datang kembali.
“Oh, ya.” Kata Niko yang hampir tak bisa kudengar. Aku menunggunya untuk mengatakan terimakasih. Tapi ternyata tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Karena kesal, tanpa sadar aku berkata,”Terimakasih.” Dengan lumayan keras. Menyadari apa yang aku katakan barusan, aku langsung berbalik dan menutup mulutku dengan kedua tanganku. Niko tidak memberi respon apa-apa, dia hanya diam sambil masuk kembali menuju rumahnya. Aku yang malu langsung berlari pulang. Dan saat aku sampai dirumah, aku meng-goblok-goblokkan diriku sendiri. Duh! Aku benar-benar malu! Ingin rasanya aku berteriak dengan sangat keras. Tapi tidak mungkin, ibuku pasti akan bertanya kenapa.
Sore harinya, aku berjalan menuju teras depan sambil menenteng gitarku. Di sebrang rumahku ada tukang bakso yang lewat. Dan kebetulan sekali Niko keluar untuk membeli bakso. Aku yang masih diliputi oleh rasa malu langsung jongkok. Entah apa yang ada di pikiranku, tetapi aku benar-benar jongkok! Saat itu juga aku menyadari betapa konyolnya diriku ini.
Aku pun mengurungkan niatku untuk bermain gitar di teras. Aku langsung masuk ke rumah sambil berjalan jongkok. Kali ini aku mengakui kalau aku memang agak aneh. Suara gitarku terdengar sangat nyaring karena kuseret-seret saat aku berjalan jongkok. Sampai di kamar, aku langsung mengutuki diriku sendiri.
***
Beberapa hari kemudian, libur semester telah usai. Waktunya untuk kembali menuju rutinitas yang sangat membuatku malas. Apalagi kalau sudah bertemu dengan hari senin, waduh, upacaranya itu lho. Benar-benar membuat frustasi. Murid-murid selalu di jemur di bawah teriknya matahari pagi. Sampai-sampai otak mereka menjadi agak keras sehingga tidak dapat menerima pelajaran dengan baik.
Aku melewati jam-jam paling membosankan di sekolah seperti biasa. Dan seperti hari-hari biasanya, aku menunggu jemputan sampai rasanya kakiku ini berkeringat. Saat ibuku datang menjemput, aku menarik napas lega seraya berlari.
“Neneknya Niko meninggal.” Kata ibuku saat aku baru saja akan naik ke atas motor.
Mendengar kabar duka tersebut, hatiku langsung mencelos. Neneknya Niko? Meninggal? Aku sedikit tidak percaya. Tapi aku mencoba bersabar dan menunggu sampai di rumah, kemudian baru aku akan bertanya masalah itu.
“Kapan meninggalnya?” tanyaku begitu sampai di rumah.
“Tadi pagi sekitar jam tujuh.” Kata ibuku.
“Udah dikubur?”
“Sudah tadi. Bapak juga ikut bantu.”
Aku mulai berpikir, neneknya Niko dengan nenekku juga punya banyak kesamaan. Mereka dulu memang bersahabat. Nenekku meninggal karena diserang oleh banyak penyakit. Begitu juga neneknya Niko. Mereka sama-sama diserang oleh penyakit yang ganas. Nenekku, terkena tumor di otaknya. Sedangkan neneknya Niko, terkena kanker di dadanya. Aku tak begitu mengerti mengapa keluargaku dan keluarganya Niko punya beberapa kesamaan.
Sore harinya, aku di rumah sendirian. Ibuku ikut membantu memasaka untuk acara nanti malam di rumah Niko. Bapakku belum pulang. Sedangkan adikku, sedang bermain entah kemana.
Aku sedang menonton tv saat seseorang mengetuk pintuku.
“Assalamualaikum.” Sahut orang itu.
“Waalaikumsalam.” Jawabku. Aku mencoba untuk mencari tahu siapa diluar. Dan betapa terkejutnya aku mengetahui bahwa itu Niko. Untuk apa dia kesini?
“Boleh pinjam buku Matematika nggak?” tanyanya pelan.
“Eh, iya tunggu bentar ya.” Jawabku agak sedikit gugup. Aku mengambil buku matematikaku di kamar. Kemudian kembali untuk memberikannya kepada Niko.
“Makasih ya.”
“Iya, sama-sama.” Kataku pelan.”Ekhm, turut berduka cita ya.” Lanjutku tiba-tiba.
Niko berbalik,”Makasih, ya.”
“Aku tau kok rasanya gimana.” Kataku agak pelan. Aku tak tahu kenapa aku bisa memulai pembicaraan ini. Aku merasa benar-benar percaya diri.
“Maaf aku nggak pernah nyapa ataupun ngomong sama kamu.” Kata Niko yang sedikit mengejutkanku.
“Eh…”
Niko menunduk seraya berkata,“Aku sekarang nggak punya teman buat diajak ngobrol.”
Ada sedikit rasa kasihan di dalam diriku. Aku tahu selama ini dia kesepian. Hidup hanya bersama neneknya. Dan sekarang neneknya meninggal. Aku tahu rasanya berat sekali.
Setelah berkata demikian, Niko mendongak dan menatapku.”Mau kan kayak dulu lagi?”
Pertanyaan itu sangat membuatku terkejut. Itu adalah pertanyaan yang sangat kunantikan dari dulu. Sebuah pertanyaan singkat yang sangat berarti dan mampu membuatku rela untuk menunggu bertahun-tahun. Sebuah pertanyaan yang menurutku sama romantisnya dengan kata-kata I love you. Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Aku mengangguk pelan. Niko tersenyum. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak tersenyum.
Comments
Post a Comment
Please tell me what do you think about this post. I would appreciate it alot!
Thankyou!
Love, Rani.