Senandung dari Mainland
Seorang petugas perpustakaan sedang duduk sambil memegang cangkir kopinya. Diluar, badai sedang mengamuk Jakarta. Sudah beberapa minggu ini badai sering datang secara terus-menerus. Menyebabkan ketakutan pada setiap orang di Jakarta. Anak-anak sering malas pergi ke sekolah karena hujan yang mengguyur deras selalu membasahi pakaian mereka. Akibatnya bau pengap dan tidak sedap mengisi seluruh bagian kelas. Tapi bukan itu yang terburuk. Gadis di dalam perpustakaan yang sedang sibuk mencari buku itulah yang mendapat gelar pekerjaan paling buruk. Apalagi di musim badai seperti ini dia pasti akan lebih sering mengeluhkan pekerjaannya. Menjadi seorang petugas kebersihan sukarela tidaklah mudah di musim hujan seperti ini.
Meskipun pekerjaan membersihkan setiap jalanan di kota Jakarta tidak cocok dengan kata “sukarela”, tetapi Sarah tetap saja ber-“sukarela” untuk membantu menjaga kebersihan kota ini. Di malam badai seperti ini, biasanya gadis itu suka mampir ke perpustakaan setelah menyelesaikan pekerjaannya. Hanya sekedar untuk membuat suasana hatinya kembali normal setelah memikirkan pekerjaannya yang selalu dia lakukan sendiri. Dia tak habis pikir, kenapa hanya dia yang mau membersihkan jalanan dan memastikannya tidak licin di musim badai seperti sekarang ini? Biasanya kalau tidak sedang musim seperti ini banyak orang yang juga dengan “sukarela” membersihkan jalanan kota Jakarta. Dan sekarang mereka sembunyi dalam kehangatan di bawah selimut tebal mereka masing-masing. Berbeda dengan Sarah yang lebih sering bermain bersama hawa dingin di luar rumahnya. Ayahnya tidak keberatan atas apa yang dilakukan Sarah, tetapi ibunya itu lain lagi. Walaupun ibunya tinggal di Seoul, tapi wanita berusia 38 tahun itu rajin menelpon Sarah untuk memastikan kalau anaknya itu aman. Sarah selalu bekerja sama dengan ayahnya setiap ibunya menelpon. Seperti saat Sarah sedang menyelesaikan pekerjaannya malam ini, ayahnya mengatakan kepada ibunya di acara telepon rutin kalau Sarah sedang ke perpustakaan untuk meminjam buku setelah les menyanyi. Dan ibunya percaya akan kebohongan itu. Sebenarnya tidak semua pernyataan ayahnya itu bohong, karena memang saat ini Sarah sedang ada di perpustakaan, setelah pekerjaannya selesai tentunya, bukan les menyanyi. Sarah bahkan tidak pernah ikut les menyanyi.
“Sarah, kau mau disini sampai jam berapa?” tanya petugas perpustakaan sambil terus menyeruput kopinya. Petugas itu memang sudah lama kenal Sarah. Sudah biasa Sarah menghabiskan sisa malam di perpustakaan itu. Sudah biasa juga Sarah berbincang dangan petugas perpustakaan itu.
“Aku harus menyelesaikan membaca buku ini, Ally. Sudah dua hari.” Kata Sarah kemudian melanjutkan membaca buku yang ada di depannya. Memang sudah dua hari ini buku bacaan barunya itu tidak selesai dibacanya karena hujannya akhir-akhir ini lebih lebat dan menyebabkan jalanan lebih licin. Dan itu artinya pekerjaan Sarah akan lebih lama selesai.
“Apa membaca buku itu ada tenggat waktunya?”
“Menurutku memalukan kalau harus membaca satu buku sampai berhari-hari.” Jawab Sarah dengan santainya. Tak berapa lama, telepon perpustakaan berdering dan cukup membuat dua orang di ruangan itu terkejut.
“Sarah, kau benar-benar harus pulang.” Kata Ally sambil menyodorkan gagang telepon kearah Sarah.
“Sarah! Cepatlah pulang! Ayah sudah kehabisan alasan! Ibumu menelpon terus!” seru ayah Sarah dari ujung telpon.
“Tapi ayah, aku harus menyelesaikan ini. Sebentar lagi saja. lagipula diluar badainya sedang besar.” Sarah berusaha mencari alasan agar dia bisa lebih lama di perpustakaan untuk menyelesaikan bukunya.
“Kau sudah terbiasa dengan badai, Sarah. Jangan cari alasan.” Ayah Sarah sepertinya juga punya alasan agar Sarah cepat pulang dan akhirnya ibunya berhenti menanyakan Sarah.
“Ayah…”
“Ayah akan menjemputmu.”
Tut… Tut… Tut…
Sarah sudah kehabisan akal. Kalau ayahnya sudah begitu, itu berarti Sarah benar-benar harus menurut. Sarah menyodorkan gagang telpon kepada Ally dengan lemas. Dia menutup bukunya dengan raut muka yang memelas. Petugas perpustakaan di depannya ini hanya menatap Sarah dengan bingung.
“Ada apa?”
“Ayah akan menjemputku.” Jawab Sarah pasrah. Dia segera mengeluarkan jas hujan kesayangannya. Jas hujan itu selalu menemani dan melindungi saat Sarah melakukan pekerjaannya.
“Apa kau tidak lelah terus membersihkan jalanan itu? Kau bisa bilang pada petugas kebersihan kota untuk mengurusnya, jadi kau tidak perlu repot.” Usul Ally sembari membereskan gelas yang tadi berisi penuh dengan kopi hangat. Sarah yang sedang memakai sepatu bots-nya hanya menghela nafas pelan.
“Aku masih bisa melakukannya. Kalau ada bantuan sih aku tidak akan menolak, tetapi kenyataannya mereka tidak peduli. Bagaimana nanti kalau aku berhenti membantu? Aku takut tidak ada yang peduli dan kebersihan kota akhirnya terabaikan.” Kata Sarah pasrah.
“Mungkin kau bisa menjadi penyanyi. Kau kan mempunyai bakat itu. Daripada harus membersihkan jalanan.” usul Ally. Untuk sejenak hati Sarah sedikit tertarik untuk mengikuti usul Ally. Tapi, kalau nanti dia jadi penyanyi, siapa yang akan membersihkan jalanan kota? Huuhh… kalaupun dia tidak jadi penyanyi, juga tidak ada yang peduli dengan kebersihan jalanan kota di musim hujan seperti ini. Lagipula, menjadi penyanyi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memangnya untuk menjadi penyanyi itu hanya dengan bernyanyi di kamar mandi? Atau bernyanyi di acara ulangtahun tetanggamu? Yahh.. tidak tahu, yang pasti tidak semudah dan se-simple itu.
“Itu keinginan ibuku. Aku hanya tidak tahu apa aku bisa memenuhinya.” Sarah kembali teringat kata-kata ibunya 2 tahun lalu.
“Ibu lebih suka melihatmu menyanyi. ibu hanya merestui jika kau menjadi penyanyi. Bukan yang lain. Kau mengerti, Sarah?”
Sarah menghela napas panjang. Untung dia ikut ayahnya tinggal di Jakarta. Kalau saja dia tinggal di Seoul, pasti saat ini dia sudah menjadi penyanyi persis seperti ambisi ibunya.
“Tapi kan, kau sudah bilang pada ibumu kalau kau mengikuti les menyanyi. Apa kau tidak takut kalau sewaktu-waktu ibumu tahu kau tidak benar-benar les?” tanya Ally berusaha menggugah hati gadis di depannya. Ally merasa kasihan melihat Sarah harus hidup di dalam kebohongan hanya karena tidak mau kebersihan kota terbengkalai. Dia tidak habis pikir, apa untungnya membersihkan jalanan kota, padahal Sarah mempunyai bakat menyanyi dari kecil. Ally tidak pernah mengerti apa sebenarnya tujuan Sarah membersihkan jalanan kota dengan sukarela.
“Tenang, dia tidak akan tahu.” Jawab Sarah santai. Sebenarnya, dalam hati Sarah juga ada sedikit rasa khawatir. Bagaimana nanti kalau ibunya itu tiba-tiba datang ke Jakarta dan langsung menjambaknya ke Seoul setelah tahu kalau Sarah selama ini membohonginya. Masalahnya akan menjadi panjang.
“Sudahlah, Sarah aku yakin—“
“Sarah!” suara berat dan menggelegar itu terdengar sangat berwibawa. Sarah mengenali suara itu. Ayah, pikirnya.
“Baiklah, sampai besok, Ally. Seperti biasanya ya, secangkir kopi hangat sudah harus tersedia di meja besok.” Kata Sarah sambil mengacungkan jarinya ke cangkir kosong yang ada di meja. Kemudian dia berjalan menuju pintu perpustakaan dimana ayahnya sedang menunggunya. Ayah Sarah terlihat sangat sehat dan bugar, walaupun badai terus melanda kota Jakarta akhir-akhir ini. Dari tampangnya sudah terlihat kalau ayah Sarah ini seseorang yang sangat penyayang.
“Ibu bilang apa?” tanya Sarah sambil membuka payung yang dibawakan oleh ayahnya. Meskipun dia sudah memakai jas hujan, ayahnya tetap khawatir Sarah akan kedinginan karena badai.
“Ayo pulang.” Kata ayah Sarah singkat. Menurut Sarah, pasti ada sesuatu yang tidak mengenakkan yang sedang mengganggu pikiran ayahnya.
Jarak antara perpustakaan dan rumah Sarah lumayan dekat. Tapi entah kenapa ayahnya ini menjemputnya menggunakan mobil. Padahal jalan kaki saja sudah cukup menurut Sarah. Sekitar 5 menit, mobil ayah Sarah pun berhenti. Sarah bingung kenapa raut wajah ayahnya terlihat cemas. Ayahnya diam saja yang membuat sarah jadi tambah bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sarah mengikuti ayahnya yang berjalan dengan rasa gundah. Sebenarnya Sarah tidak tahu, atau belum tahu, bahwa ketakutannya kini sedang duduk di ruang keluarga sambil menyeruput teh hangat dari cangkirnya.
Sepatu bots yang tadi dipakai Sarah, kini telah tergeletak di depan pintu depan. Sarah berlari untuk menanyakan apa yang sedang dipikirkan ayahnya saat ini. Apa mungkin ayahnya itu sedang tidak enak badan karena menjemput Sarah di malam badai seperti ini? Ah! Jangan sampai, itu akan membuat Sarah merasa tidak enak.
Saat Sarah sampai di ruang keluarga, dia melihat ayahnya berdiri tegak di sebelah sofa, dan yang duduk di sofa itu… oh, Sarah menelan ludah. Kali ini dia benar-benar takut. Bukan pada wanita yang sedang menatapnya tajam saat ini, tapi lebih kepada apa yang akan dilakukan wania itu beberapa saat lagi. Ibunya menatap Sarah dengan sangat tajam. Seperti ada kilatan petir yang siap menyambar Sarah di dalam matanya. Sarah tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa diam dan menatap ayahnya mencoba berkata “tolong aku, ayah!”. Tapi ayahnya itu malah mengangguk tanda bahwa dia juga sudah menyerah dengan kegigihan istrinya. Kini Sarah sendiri. Benar-benar sendiri. Tidak ada ayahnya yang akan membantunya, ataupun Ally yang akan memberinya nasihat. Ketakutannya datang dalam waktu yang sangat tepat.
“Selamat malam, Sarah Soraya.” Ibunya itu tersenyum dengan sangat lebar. Dan Sarah yakin, dia melihat sedikit sindiran di dalam senyum ibunya itu.
“Hai, eh… Ibu. Kapan datangnya?” tanya Sarah kikuk. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat gugup.
“Bagaimana ‘les’ nya?” tanya Ibunya dengan sedikit penekanan pada kata les.
“Ekhh… itu… hhh…”
“Bereskan kopermu. Secepatnya.” Kata Ibunya dingin. Mata Sarah membulat tidak percaya. Apa dia akan dibawa pergi oleh ibunya? Dia langsung menoleh pada ayahnya. Mulut ayahnya bergerak membentuk kata-kata “Maafkan ayah.” Tanpa suara.
“Tapi, bu, ibu harus mendengarkanku dulu! Ibu tidak bisa membawaku pergi! Aku harus—“
“Membersihkan jalanan kota Jakarta dengan sukarela tanpa dibayar sedikit pun.” Sela Ibunya melanjutkan kata-kata Sarah.”Harus berapa kali Ibu mengatakannya kepadamu? Pekerjaan itu tidak ada gunanya! Lagipula kau masih berumur 14 tahun! Besar nanti kau mau jadi apa?” bentak ibunya. Sarah hanya bisa menunduk sambil merenungkan nasibnya kemudian.
“Sayang, jangan terlalu kasar. Dia baru saja pulang…” kali ini ayahnya angkat bicara. Tapi, lagi-lagi ibunya menyela perkataan orang.
“Kau terlalu memanjakannya. Itu sebabnya dia jadi anak yang tidak bisa dikendalikan seperti ini.”
“Ibu, kumohon. Beri aku kesempatan lagi. Kali ini aku akan benar-benar ikut les menyanyi. Aku janji!” sahut Sarah dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bukan lesnya yang ibu mau. Tapi keyakinan hatimu!” ibunya bangkit dan berjalan menaiki tangga. Sarah berlari mengikutinya, berharap dia diberi kesempatan lagi untuk tetap tinggal di Jakarta dan berlatih menyanyi.
Ibunya membuka kasar pintu kamar Sarah, dan dengan cepat mengobrak-abrik isi lemarinya.
“Ibu! Kumohon!” Sarah mencoba menghentikan ibunya sambil menangis. Tapi ibunya tidak menghiraukan dan tetap memasukkan baju-baju Sarah ke dalam koper.
“Halo, tolong kirim taksi untuk ke bandara…” ibunya berbicara dalam telepon sambil menarik koper Sarah menuju ruang keluarga. Sarah memandangi lemarinya yang berantakan. Dia hanya bisa pasrah. Ibunya benar-benar sudah tidak bisa sabar. Dan Sarah benar-benar harus pergi. Mungkin ini terakhir kali dia melihat kamar kesayangannya.
***
Jalanan kota Seoul terlihat sangat sepi di tengah malam seperti ini. Lampu jalanan berusaha menerangi sekitarnya dengan cahaya yang redup dan hampir mati. Suasana dan hawa malam itu sangat dingin, membuat orang-orang yang tinggal di Seoul hanya ingin berada di bawah selimut mereka masing-masing. Dinginnya udara menembus kulit Sarah yang sedang duduk di dalam taksi yang baru saja menjemputnya dari bandara. Sampai-sampai hidung dan hatinya tidak bisa bernapas dengan bebas. Bahkan otaknya terlalu beku untuk dipakai berpikir. Sarah hanya melihat keluar jendela taksi yang mengantarnya ke apartemen ibunya. Di sampingnya, ibunya berusaha membangunkan seseorang dengan menelponnya berkali-kali. Sarah tahu ibunya itu pekerja keras dan sangat sibuk. Tapi apa perlu membangunkan orang untuk membicarakan bisnis malam-malam begini?
Sarah tetap memandangi jalanan kota Seoul yang lembab karena hujan yang barusan membasahi kota ini. Beberapa orang berlari menyusuri pinggir jalan dengan memakai jaket yang berlapis-lapis. Andai Sarah tahu lebih awal tentang cuaca di Seoul, saat ini dia pasti tidak akan kedinginan.
“Kau bisa saja memintaku untuk membuatmu lebih hangat.” Kata seseorang yang memiliki suara lembut dan kecil.
Sarah menoleh,“Apa?” tanyanya kepada ibunya.
“Ada apa, Sarah?” ibunya bertanya balik. Sarah mengerutkan alis saat ibunya berkata demikian. Bukankah tadi yang menawarkan untuk membuatnya lebih hangat adalah ibunya? Tapi… mungkin saja bukan. Suaranya saja beda.
“Tidak apa-apa.” kata Sarah pelan dan kembali menatap keluar jendela. Berharap suara itu datang lagi supaya dia bisa mencari tahu siapa sebenarnya pemilik suara itu.
“Tidak perlu mencariku, aku ada di pundakmu.” Kata suara itu lagi. Kali ini Sarah merinding. Dengan perlahan, dia menoleh untuk melihat apa yang sebenarnya ada di pundaknya.
“Oh!” Sarah menjerit lemas saat tahu yang ada di pundaknya adalah seorang gadis yang besarnya hanya se- ibu jari. Gadis itu memakai baju berwarna cokelat tua dengan rumbai-rumbai di sekitr lengannya. Dan… gadis itu memiliki sepasang sayap kecil nan cantik. Yang ada di benak Sarah pertama kali saat melihat sayap itu adalah, peri. Ya, gadis itu adalah seorang peri.
Sarah tidak bisa berhenti memandang gadis kecil bersayap di pundaknya itu. Ingin dia memberitahu ibunya, tapi Sarah yakin ibunya itu akan menganggapnya basa-basi. Peri itu tersenyum, sangat lama. Berharap Sarah membalas senyumannya. Tetapi Sarah terlalu shock untuk menggerakkan bibirnya.
“Kita sudah sampai.” Seru ibu Sarah seraya turun dari taksi dan mengeluarkan dompet dari tasnya.
Sarah turun dengan perlahan. Takut kalau peri yang ada di pundaknya itu terjatuh. Tapi rupanya Sarah lupa kalau peri itu mempunyai sayap. Jadi saat Sarah membungkuk untuk mengambil koper, peri itu langsung sigap mengepakkan sayap kecilnya.
***
“Kau siapa?” seru Sarah cepat-cepat sambil mengunci pintu kamar barunya.
“Kupikir kau sudah tahu, aku adalah seorang peri.” Kata peri itu santai seraya terbang menuju meja di pinggir kasur kamar Sarah.
“Tapi, tapi, kau tidak seharusnya ada! Maksudku, kau itu…tidak mungkin!” Sarah berjalan cepat dan langsung melempar badannya untuk duduk di kasur.
“Ha-ha. Aku ini ‘mungkin’, Sarah. Kau tidak pernah mendengar cerita tentang Neverland?”
“Tentu aku pernah! Tunggu, kau dari Neverland?” tanya Sarah tidak percaya. Dia pernah membaca buku tentang tempat tinggal para peri di perpustakaan. Dan dia sama sekali tidak pernah membayangkan kalau peri-peri itu ada!
“Ya, dan aku ditugaskan datang ke Mainland untuk membantu anak-anak menyelesaikan masalahnya.” Kata peri itu.
“Apa maksudmu dengan membantu menyelesaikan masalah? Aku tidak punya masalah!” seru Sarah mencoba menutupi konflik antara dia dan ibunya.
“Lalu kenapa kau disini?” tantang peri itu.
“Aku…aku…”
“Telah berbohong kepada ibumu selama beberapa tahun ini.” peri itu berkacak pinggang dengan tatapan yang serius.
“Bukan—“
“EKHM!” peri itu berdehem sangat keras saat Sarah mencoba mengelak dari pernyataannya.
“Oke, oke! Aku memang berbohong. Tapi itu demi kebaikan! Aku harus melakukannya atau jalanan kota akan terlihat berantakan!” seru Sarah pasrah seraya membenamkan muka di kedua tangannya.
“Dengar, Sarah. Berbohong demi kebaikan itu tidak akan ada artinya. Niatmu yang awalnya ingin membantu, akhirnya malah jadi keburukan di balik kebaikan. Kebohongan yang kau simpan dari pertama terus-menerus terkumpul. Dan akhirnya, kumpulan kebohonganmu itu sendirilah yang menghantammu kesini. Percayalah Sarah, tidak ada kebaikan yang akan tercapai tanpa hati yang tulus.” Jelas peri itu panjang lebar. Sarah masih menyembunyikan muka di kedua tangannya. Banyak hal yang berputar-putar di kepalanya. Termasuk yang baru saja dikatakan peri itu. Peri itu benar. Buktinya, sekarang Sarah sudah ada di Seoul. Dan kemungkinan untuk kembali ke Jakarta hanya seujung jari peri itu. Itu berarti, jalanan kota Jakarta akan terbengkalai selama dia berada di Seoul.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Katakan pada ibumu apa yang kau mau.”
Kali ini Sarah memandang peri kecil itu. Bagaimana bisa peri sekecil itu, yang otomatis otaknya pasti lebih kecil, bisa memberi nasehat sehebat itu kepada Sarah yang badannya lebih besar beribu-ribu kali lipat dari peri itu sendiri. Sarah jadi merasa benar-benar bodoh. Kenapa dari dulu dia tidak berpikir seperti itu?
“Kalau aku boleh memberi saran, sebaiknya kau menuruti apa yang diinginkan ibumu.” Kata peri itu pelan,”bernyanyilah. Aku tahu kau punya potensi. Dan aku yakin, apa yang kau mau juga pasti akan terwujud.”
Sarah berpikir sejenak. Sebenarnya, di dalam hati Sarah, bernyanyi di depan banyak orang juga menjadi salah satu keinginanya. Tapi entah kenapa selama beberapa tahun ini, keinginan itu seakan terpenjara di dalam hatinya dan tidak ada kesempatan untuk di ungkapkan.
“Baiklah. Aku akan berbicara pada ibuku. Semoga saja dia belum tidur. Kau tunggu disini, ya.”
Sarah berlari keluar kamar menuju kamar ibunya. Peri itu menunggu sambil duduk di atas buku yang tergeletak di meja. Senyum mengembang di pipinya. Dia senang Sarah bisa membuka hatinya untuk menerima keinginan ibunya yang sangat besar itu. Kini, tugasnya sudah hampir selesai. Dan dia akan segera kembali ke Neverland, dimana teman-temannya yang telah berhasil membantu anak-anak di bumi berkumpul bersama. Tiba-tiba pintu kamar Sarah terbuka. Sarah melangkahkan kakinya dengan santai. Mukanya berseri-seri dan terlihat sangat lega.
“Bagaimana?” tanya peri itu.
“Terimakasih. Kau benar-benar membantuku menyelesaikan masalah!” seru Sarah girang.
“Sama-sama. Tapi maaf, aku harus kembali ke Neverland secepatnya.” Kata peri itu seraya terbang keluar jendela. Sarah berlari menuju jendela kamarnya untuk melihat peri itu terbang bebas.
“Hei! Siapa namamu?” seru Sarah. Peri itu berbalik dan tersenyum.
“Emily.” Sahut peri itu kemudian terbang dengan kencang menuju gelapnya langit malam. Sarah tersenyum di jendela kamarnya. Dia tidak akan pernah melupakan nama itu. Emily.
3 tahun kemudian…
“Lagu ini kupersembahkan untuk teman kecilku yang saat ini sedang tersenyum manis di Neverland. Emily.” Music melantun pelan seiring jalannya konser megah tunggal yang di beri judul “Senandung dari Mainland”. Para penonton berseru sambil melambaikan tangan mereka ke atas mengikuti alur music yang lembut. Sarah tersenyum. Gelar barunya, “Duta Lingkungan Hidup.”, kini mengajaknya mengingat malam pertamanya di Seoul. Dia masih ingat kata-kata peri itu, “…apa yang kau mau juga pasti akan terwujud.“ Benar saja. Keiginannya untuk jadi penyanyi sekaligus membersihkan lingkungan akhirnya terwujud.
“Terimakasih, Emily.” Batin Sarah di tengah-tengah jalannya konser.
I like it, especially the fairy part, because I love fairies! And Neverland of course ^^
ReplyDeleteMakasih kak feb :D
Delete